Pages

  • Home
  • Kaskus
  • Sitemap
facebook twitter instagram

Bang Baron

Bukan... Ini bukan site penyedia bokep... Ini bukan Catatan Harian Seorang istri... dan juga Ini bukan Agent MLM obat Panu...

  • Home
  • Penulis
  • Artikel
    • Teen
    • Story
      • Drama Penumpang Ojol
      • Rocker Juga Butuh Cinta
      • Tetangga Dari Planet Namec
    • Campfire Story
    • Fashion
  • Celotehku
  • Mega menu
  • Download

Cerita Abang Ojol Masuk dan terjebak di Lingkaran Setan
Jalan Industri



Beberapa orang percaya, di tempat-tempat tertentu terdapat dimensi pararel yang di ciptakan makhluk halus sebagai tempat kekuasaan mereka. Entah nyata atau tidak, tapi beberapa pengalaman membuktikan bahwa lingkaran setan itu memang benar-benar nyata…


Lingkaran Setan, begitu aku menyebutnya. Sebuah area yang cukup luas dimana terdapat banyak makhluk-makluk yang tak kasat mata bersemayam. Ada juga yang menyebutnya dimensi pararel, dimana seakan-akan terdapat kehidupan didalamnya. Ada keramaian, ada orang-orang beraktivitas, sama seperti di dunia biasa. Bedanya, mereka semua sudah mati dan menjadi arwah2 penasaran.


Beberapa kejadian sempat menghantui, beberapa orang yang tanpa sengaja masuk ke lingkaran setan mereka akan terjebak beberapa waktu. Dan hanya berputar-putar di dalam  nya tanpa tentu arah. Saat mereka sadar, mereka telah melewati ruang dan waktu di dunia pararel dimana melewatkan beberapa masa di dunia nyata. Apakah ini nyata? Ada satu cerita yang aku dapatkan malam ini…


Aku baru saja berkemas dan bersiap pulang kantor. Waktu masih menunjukkan jam set 8 malam. Grab yang aku pesan pun udah terdengar suara motornya dari arah pagar depan. Aku perhatikan kantor sudah mulai lengang, beberapa sudah berangkat bermain badminton dan beberapa diantaranya masih bermain PS di escape room.


Seorang Driver grab paruh baya parkir di depan gerbang kantor. Wajahnya datar, tanpa sapaan saat aku menanyakan apakah itu orderan yang aku pesan. Tatapannya pun kosong tanpa arah yang jelas. Mungkin dia lelah setelah seharian narik, begitu pikirku. Tanpa banyak bicara, ku mulai naik ke motornya dan kami mulai berangkat. Sekitar 100 meter aku mencoba mengajaknya bicara, sekedar memecah suasana agar selama perjalanan tidak begitu kaku. Sesekali dia mengangguk dan menjawab dengan suaranya yang serak. Aneh sekali, tidak pernah aku mendapatkan driver grab sedingin ini.


Tak berapa lama aku tersentak dengan pertanyaan driver itu yang tiba-tiba dia ucapkan…
“Mas, pernah masuk ke kawasan angker?”


Aku cukup kaget dengan pertanyaan bapak ini. Tak biasanya aku mendapatkan pertanyaan yang sulit aku jawab dari seseorang yang baru aku kenal, apalagi seorang driver grab.
“Belum pak… ada apa emang nya?”


Bapak itu memperlambat laju motornya, dia mulai menceritakan maksud dari pertanyaan itu. Sungguh tak pernah kusangka, masih ada orang yang mengalami hal ini….


3 hari yang lalu sekitar pukul 11.35, pak Agus nama driver itu sudah bersiap untuk pulang. Narik ojek seharian hingga malam cukup melelahkan dan menguras banyak tenaga. Dia hanya ingin pulang dan menghitung hasil ngojek nya hari itu. Namun karena lupa mematikan aplikasi, sebuah orderan pun masuk. Dari seorang anak muda yang berada tak jauh dari tempat pak Agus berhenti.


Dilema, jika orderan itu di cancel, maka performa pak Agus akan jelek. Namun jika orderan itu ambil, malam mulai larut dan tujuan dari orderan itu pun cukup jauh sekitar 10km-an. Setelah berfikir beberapa saat, pak Agus memutuskan mengambil orderan itu dan menjemput pemuda tadi.


“Pak, kita lewat sini aja ya. Depan belok kira. Biar lebih cepat…”
“Tapi mas… itu jalan karya timur… apa nggak sebaiknya lewat jalan utama aja?”
“Gpp pak lewat situ aja lebih cepat”


Karya Timur adalah lokasi pergudangan di Kota Malang. Tempatnya tepat di sebelah rel kereta api. Banyak gudang-gudang dari pabrik-pabrik di sekitar Malang berjajar disini. Suasana nya sepi, hanya beberapa lampu remang-remang di sudut2 gudang. Tak banyak kendaraan yang lewat jalan itu. Hanya bangkai-bangkai angkot yang di biarkan berjajar tanpa tau bagaimana nasib nya. Genangan air terlihat memenuhi sudut2 jalan, Malang baru saja di guyur hujan sore itu dan menyisakan malam yang dingin yang menusuk


Perlahan pak Agus dan penumpangnya memasuki jalan itu dan menyusuri jalan sepi dan dingin. Awalnya tak ada hal ganjil yang dia rasakan, namun tiba-tiba hawa sangat dingin masuk dan menusuk kulitnya dari sela-sela jaket grab yang dia pakai. Dingin… dingin sekali… lebih dingin dari hawa yang dia rasakan sebelum masuk ke tempat itu… Pak Agus hanya bisa diam, dia merasakan hal yang tidak biasa. Dia terus berfikir apakah sebaiknya putar balik dan mengambil jalur utama. Tapi disisi lain dia tak mau mendapatkan reputasi buruk karena tidak sesuai dengan apa yang penumpang minta…


Belum sempat kebingungan pak Agus terjawab, terlihat ada cahaya-cahaya yang cukup terang dari lampu-lampu yang tak jauh berada di depan. Tampak seperti sebuah keramaian, tapi apa? Pasar malam? Atau pesta rakyat?


“Wah ada ramai-ramai… apa itu pak?”
“Gak tau mas… kayak ada pasar malam”


Pak Agus memperlambat motornya dan mengamati suasana keramaian itu. Tampak memang seperti pasar malam dan ramai. Ada berbagai macam pedagang kaki lima yang berjajar, dan pengunjung yang berdesakan melewati jalan-jalan di sela-sela pasar malam itu. Namun keramaian itu menjadi bertambah aneh saat pak Agus memperhatikan wajah dari orang2 yang berada disana, pucat dengan tatapan kosong. Semua memiliki raut wajah dan ekspresi yang sama…. Whaat?? Apa ini??


Aku masih berfikir keras dengan apa yang pak Agus ceritakan. Meski suaranya serak, dia menceritakan dengan sangat jelas. Sejenak mengusap dahi nya, dia meneruskan apa yang dia ceritakan…


Usai melewati pasar malam aneh itu, pak Agus dan penumpangnya melewati jalan yang membingungkan. Beberapa perempatan yang sama pernah dia lalui sebelumnya. Seperti melewati jalan yang sama 2 kali. beberapa jalan juga tak pernah di temui, apakah ini jalan baru?? Pak Agus tak berfikir sejauh itu, dia terus memacu motornya kearah tempat yang di tuju. Tapi semakin jauh perjalanan, pak Agus merasa mereka tak pernah meninggalkan tempat itu. Tetap berada diantara gedung2 gudang yang berbaris rapi di kiri dan kanan.


“Maaf mas, mas beneran tau jalannya nggak ya?”
“Saya tau pak… tapi kenapa berubah ya?”
“Berubah bagaimana ya?”
“Saya nggak yakin pak, tapi setahu saya tidak ada jalan yang mengarah masuk kesana. Tapi kenapa jadi ada jalan ya?”


Lagi, pak agus berusaha untuk mencari jalan keluar, tapi lagi-lagi mereka kembali ke tempat-tempat yang pernah mereka lalui. Seakan-akan mereka berada di dalam sebuah maze raksasa dan tak pernah bisa keluar. Semakin kita pergi jauh, maka akan semakin mendekat dan tidak bisa keluar. Demikian juga dengan Pak Agus dan penumpangnya.


Merasa ada yang tidak beres, pak Agus mengerti akan kondisi ini dan berusaha untuk tenang. Dan meminta penumpang nya untuk tetap tenang.


“Mas, sepertinya kita sedang didalam wilayah yang gak wajar”
“Maksudnya pak??”
“Nggak tau mas, saya merasa udah ngelewati perempatan ini 7 kali”
“Iya pak… saya juga merasa demikian”
“Yaudah… bantu saya baca surat-surat pendek ya mas. Saya akan tetap fokus mencari jalan…”


Si penumpang hanya mengangguk, dan mengikuti apa yang pak Agus minta. Pak Agus sendiri tetap tenang dan berusaha mencari jalan keluar dari tempat yang penuh tanda tanya itu.


Beberapa menit kemudian pak Agus melihat ujung jalan mengarah ke jalan utama. Sepertinya itu jalan keluar. Apa yang dia lakukan membuahkan hasil. Sedikit lagi mereka akan keluar dari tempat tak berujung itu. Seperti perjalanan tanpa henti dan berputar-putar di dimensi yang berbeda. Dan orang-orang yang ada didalam nya mempunyai raut wajah ucat dengan tatapan nanar tanpa ekspresi.


Kembali pak Agus merasakan dingin yang teramat sangat menusuk hingga tulang. Sangat dingin menembus pori-pori jaket. Sama seperti pertama dia masuk ke jalan itu tadi. Apakah ini tanda bahwa mereka telah keluar dari dimensi itu? Sesaat motor yang mereka naiki sudah memasuki pinggiran jalan utama. Mereka kembali ke alam nyata. Dengan keringat dingin bercucuran, mereka memastikan lagi apakah benar semua sudah menjadi normal. Tidak ada lagi orang-orang bertampang pucat tanpa ekspresi. Benar , semua sudah normal…


“Sepertinya kita udah keluar mas…”
“Memangnya tadi itu apa pak?”
“Saya nggak tau, kita kayak berputar-putar saja dari tadi…”
“Yaudah pak kl begitu kita lewat jalan utama aja”
“Iya mas...ta tapi…”
“Tapi kenapa pak??”


Pak Agus sangat terkejut melihat kenyataan bahwa sebenarnya mereka hanya kembali ke posisi awal penjemputan, dan tak pernah jauh dari tempat itu. Jalan baru yang mereka lewati tadi hanyalah seonggok tanah kosong yang mengarah ke gudang tua yang terbengkalai. Dan yang lebih mengejutkan, waktu sudah menunjukkan jam 3 pagi. 3 jam lebih mereka tersesat?? Sepertinya tidak, mereka sudah melewati dimensi ruang dan waktu. pak Agus hanya merasakan beberapa menit tersesat, tapi sebenarnya sudah beberapa jam di alam nyata.

Baca Juga : Kenalan Ama Cewek Tapi Di Cuekin Mulu?? Nih Sob Alasannya….

Apa benar demikian?? Aku sendiri kurang yakin. Dari banyak pengalaman yang aku baca, adalah orang beruntung yang bisa keluar dari lingkaran itu. Selebihnya mereka tersesat lebih lama lagi dan mungkin tidak bisa keluar.


Motor Pak Agus sudah merapat di depan pagar rumah ku, cerita yang sangat seru aku dengarkan dari mulut nya. Masih dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Setelah aku bayar dan mengucapkan terima kasih dia pun pergi di antara kabut malam itu...
0
Share
#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Malioboro 2012, saat ekspedisi bermula disuatu pagi...


Ekspedisi…. Iya, Ekspedisi…. Kenapa ini gue namakan ekspedisi? karena ini bukan traveling biasa… banyak hal yang ingin gue gali tentang sejarah dan asal muasal dari setiap sudut kota yang bernama Jogjakarta… Kota Sejutaa Seni… Sejuta Misteri…
Jogjakarta punya banyak daya tarik untuk wisatawan datang dan menikmati setiap lekuk “tubuhnya”. Jogjakarta ramah untuk siapa saja, dan selalu menyuguhkan banyak hal menarik untuk setiap tamu yang berkunjung. Budaya nya, alamnya, makanannya dan semua peninggalan sejarahnya. Jogja juga salah satu kesultanan yang masih lestari hingga detik ini.

Keraton, taman sari, benteng vredeburg, alun-alun kidul, malioboro, kalicode… semua adalah satu paket tempat-tempat yang harus kamu kunjungi jika liburan ke Jogja. Dan jika lu mau berjalan agak jauhan lagi, lu bisa menyambangi Prambanan di sleman, borobudur di magelang, Istana Ratu Boko di Bokoharjo dan pantai parang tritis di Bantul… tempat-tempat itu adalah obyek yang bisa lu nikmati sembari Selfie….

Hanya menikmati sembari Selfie?? Gue akan melakukan lebih dari itu…

Ekspedisi ini sudah gue mulai sejak 2012… disaat issue bumi ini akan kiamat, gue lebih milih trip ke jogja bareng seorang kawan dengan cara backpackeran. Berangkat naik Motor dari Malang dan Menumpang kereta pagi dari surabaya. Jika memang benar saat itu akan kiamat, setidaknya kami akan mati di Jogja karta yang indah… begitu kelakar gila kami saat di kereta pagi itu…

3 hari 2 malam, waktu yang sangat sempit untuk menggali misteri tersembunyi tentang jogja. Karena itulah ekspedisi ini gue rencanakan 6 tahun setelahnya… 2020 adalah “Remidi” dari dahaga gue yang sempat tersedat selama 6 tahun. Dahaga untuk mereguk pesona setiap sudut jogjakarta…

Rencana ini gue mulai awal desember 2019, dengan menghubungi kembali teman-teman backpacker gue dulu. Tapi rentan waktu 6 tahun membuat status kami berubah, dari single menjadi ganda campuran dan beberapa diantaranya telah beranak pinak. Sehingga sangat sulit untuk bisa traveling bersama karena beberapa kepentingan keluarga. Tapi gue optimis, diantara mereka akan tertarik dengan proposal Ekspedisi ini…

Trip direncanakan 16 – 20 Maret 2020, Space 2 bulan cukup untuk mengatur ulang jadwal dan mengajukan cuti dari kantor. Mengingat maret juga bukan musim liburan, akan membuat perjalanan kami kemungkinan lebih lancar. Jauh dari hiruk pikuk wisatawan menikmati liburan.

#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Bermula dari stasiun ini

Backpacker dengan kereta Pasundan dari Gubeng Surabaya. Dengan harapan Tiket lebih murah di banding KA Gajayana atau Malioboro ekspress dari Malang. karena kembali lagi, konsep ekspedisi Gue dan teman-teman adalah Backpacker. Melakukan Perjalanan dengan budget minim tapi hasil yang maksimal. Karena Selain alasan tersebut, kereta api adalah satu-satunya jalan untum memasuki Gerbang Sejarah tujuan Pertama kami….

Benar…. Stasiun lempuyangan…. Itulah tujuan pertama Ekspedisi kami…


Stasiun Lempuyangan…

#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Lempuyangan, saat langkah pertama di jogja mulai dijejakkan



#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Stasiun kereta, stasiun dari semua mimpi-mimpi kita



#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Lempuyangan punya nilai sejarah yang kental

Stasiun Lempuyangan…Are you Serius???
Why… kenapa sebuah stasiun menjadi destinasi wisata adalah hal yang aneh?? Buat gue Stasiun adalah tujuan wisata yang eksotis. Saat kaki pertama turun dari kereta dan menjejak di pelataran sebuah stasiun, itu seperti kita masuk ke sebuah masa lampau. Seperti masuk ke sebuah lorong waktu yang panjang, dan melemparmu ke sebuah hiruk pikuk sejarah kolonial. Bahkan gue yakin, Salahsatu faktor berkembangnya Peradaban sebuah kota, pasti berawal dari Stasiun…

Ini yang akan gue eksplore dari Lempuyangan, salah satu Stasiun Tertua di Kota Jogja. Bahkan Lebih tua dari Stasiun Tugu. Lempuyangan di resmikan tahun 1872, dan Tugu 15 tahun setelahnya. Lempuyangan punya andil besar dalam membangun perekonomian Jogjakarta, karena pada saat itu Lempuyangan menjadi poros utama pengiriman Gula.

Konstruksi arsitektur bangunan yang ingin gue dalami, karena ada hal-hal yang unik di setiap pembangunan stasiun. Dan buat gue, setiap detilnya adalah sebuah hal yang menarik untuk pelajari…


Malioboro

#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Gerbang masuk ke "harta karun" jogjakarta
#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Malioboro sudah berbenah, berbeda dengan 2012 yang lalu
#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Malam adalah keindahan di malioboro
Ada satu hal yang penting dalam sebuah traveling, usahakan perbanyak perjalanan dengan berjalan kaki. Kenapa? Dengan berjalan kita bisa lebih menikmati pemandangan sekitar dan menemukan hal-hal yang baru. Ini yang dulu gue lakukan dari Lempuyangan ke Malioboro. Beberapa kali becak dan ojek datang menawarkan jasa, tapi selalu gue tolak. Berjalan di antara pemukiman warga menjadi hal unik tersendiri. Dari lempuyangan ke malioboro kita akan melewati gang kecil diantara pemukiman warga dan bantaran kalicode serta macetnya kawasan malioboro.

Malioboro adalah destinasi selanjutnya, hal yang akan gue lakukan pertama kali di temapt ini adalah mencari penginapan. Penginapan banyak dengan fasilitas yang bersaing. Tapi untuk penginapan yang layak untuk backpackeran berkisar 80 – 125rb dengan fasilitas temapt tidur, kipas angin dan lemari kecil. Yaah nggak banyak dan nggak mewah emang. Kembali lagi, konsep gue adalah backpackeran.

Apa yang bisa ktia dapat di malioboro?? Banyak… banyak orang jualan… belanja, njajan, atau mengisi perut. Tapi bukan itu yang menarik buat gue. nanti setibanya di malioboro, gue pengen menyusuri jalan-jalan yang bersimpangan dengan jalan malioboro, karena di beberapa sudutnya banyak gue jumpai bangunan2 lawas dulu. Dari rumah, café, pertokoan. Semoga bangunan2 itu masih ada ntar…


Pasar Kembang – Stasiun Tugu – tugu jogja
#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Eittss... bukan untuk "tanam saham" tapi gue penasaran, gimana kehidupan malam disana


#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
bangunan satu ini juga menyimpan jutaan sejarah




#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Icon Jogjakarta

Udah ngejogrog di Malioboro kurang lengkap kiranya tanpa mampir ke Pasar Kembang ( Baca : Sarkem )…. Hehehe
Eit jangan salah… gue pengen kesana bukan berarti gue pengen “tanam saham” … gue Cuma tertarik dengan aktivitas kehidupan disana saat malam tiba. Bagaimana atmosfir tinggal di lingkungan lokalisasi? Bagaimana rasanya mau sholat di masjid tapi ngelewati wisma-wisma kesukaan hidung belang? Buat mereka yang menghuni di sekitar sana mungkin udah biasa, tapi buat gue itu luar biasa…

Tak jauh dari situ kita sampai ke stasiun Tugu, sama halnya dengan lempuyangan. Stasiun ini adalah stasiun tua yang di restorasi kembali. Masih sangat terlihat urat-urat bangunan kuno nya yang menarik untuk di abadikan dalam beberapa foto. Dan yang paling menarik perhatian saya adalah monumen Uap yang berada di depan jalan masuk Stasiun Tugu Jogjakarta. Peninggalan sejarah dari sebuah perkembangan Kereta Api

Berjalan lurus ke utara, kita akan menemukan Monumen Tugu Jogja. Monumen tugu atau yang di kenal Tugu Pal Putih di bangun saat pemerintahan belanda, dan beberapa kali di pugar. Tidak ada catatan sejarah yang jelas mengapa tugu itu di bangun. Tapi percaya atau tidak mitosnya tugu itu adalah titik inti yang berada 1 garis lurus antara keraton – malioboro – tugu jogja dan gunung merapi… gak percaya?? Tunggu hasil ekspedisi gue maret nanti….


Keraton –Taman Sari– Masjid Gede

#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Saksi bisu para raja


#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
saksi bisu putri raja... huehuehue



#KASKUStravelstory Road To "Napak Tilas Budaya Jogjakarta" 2018
Masjid Agung Gede
Hari ke 2 dan ke 3 mungkin akan lebih banyak gue habiskan di keraton dan sekitarnya. Terus terang sejak 2012, rasa penasaran saya tentang denah dan tata ruang keraton belum terobati. Ada banyak ruangan2 keraton jogjakarta yang memiliki nama dan kegunaan masing2. Dan lagi yang ingin saya pelajari lebih dalam adalah tentang “unggah-ungguh” serta kebiasaan para keluarga sultan dan abdi dalem di lingkungan keraton. Keraton adalah tempat sakral bagi warga sekitar. Warga jogja sangat menghormati lingkungan keraton, itu yang menarik perhatian saya tentang sejarah dan misteri yang ada di dalamnya

Tak jauh dan masih dalam lingkungan keraton ada sebuah kolam bernama Taman Sari. Untuk taman sari, gue gak bisa nulis banyak… karena saat 2012 kemarin gue lupa mau ketempat ini… dan Maret 2018 nanti, gak bakal gue lewatin.karena dari sumber-sumber di internet, taman sari itu keren banget. Banyak tempat-tempat yang unik disini. Dan satu lagi yang paling penting, tempat ini sarat nilai sejarah nya…
Masjid Gedhe Kauman adalah tempat wajib kalau ke jogja. Masjid tua peninggalan kekeratonan Jogja di jalan belanda. Masjid Ini juga menjadi saksi terbentuknya organisasi Islam Muhammadiyah. Masjid ini 80% masih memiliki bentuk aslinya. Ditambah beberapa perubahan di berbagai tempat. Yang jelas, menjadi sebuah kebanggaan bisa sholat dan sujud di masjid yang bersejarah…


Benteng Vredeburg - Wisata belanja


Hari Ke 4 dan Ke 5 akan gue gunain untuk ke Vredeburg dan sedikit membeli oleh2 untuk keluarga dirumah. Mulai dari bakpia, jenang, atau beberapa baju di sekitaran malioboro. Benterng Vredeburg cukup melempar kita ke jaman kolonial. Banyak penginggalan yang bisa kita temui disana

Awalnya gue pengen hari2 terakhir bisa ke prambanan, candi boko atau borobudur. Tapi waktu nya terlalu mepet. Traffic yang padat dan perjalanan yang lumayan jauh sangat menyita waktu. Mengingat hanya 5 hari di jogja. Jadi gue rencanain hari ke empat masih berkutat di malioboro baru di hari ke 5 bersiap kembali ke stasiun lempuyangan untuk pulang ke Malang…


Meski tak banyak tempat yang bisa gue kunjungin karena terbatasnya waktu, yang terpenting gue bisa memaksimalkan waktu untuk menikmati dan menggali informasi tentang tempat-tempat yang awesome di jogja…
Jogja…. Sampai Jumpa Maret 2018 nanti!!
0
Share


Angin Hangat Lembah Wilis
Angin Hangat Lembah Wilis


Suatu siang di tahun 2004,

              Teeng... teeeng... teeeng!! bel pulang sekolah baru berbunyi. Pukulan tangan pak waluyo masih cukup kuat untuk membuat velg mobil bekas itu berbunyi nyaring. Pria paruh baya yang sudah 15 tahun mengabdi sebagai penjaga sekolah. Aku masih belum meninggalkan kelas, tumpukan buku di depan ku belum selesai ku rapikan. Di Hari rabu siang aku tidak ada Praktikum, surga buat anak STM Negeri Blitar bisa pulang barengan ama anak SMA lainnya.
Selain bisa menikmati indahnya tidur siang, sejenak mampir dan nongkrong di SMA sebelah adalah sebuah hobi yang sangat indah.

“sob... sabtu wilis... naik sabtu siang, turun senin sore. Kan senin libur tanggal merah. Gmn?”
“lagi malas Ndi. Emang siapa aja?”
“mungkin ntar aku, Wok ji, mbahroni sama beberapa cewek-cewek dari Sma Talun. Gayul , Pipit dan mbak Mitra. Genk -genk kita aja lah...”
“lagi bokek nih aku...”
“udah... sisihin aja uang saku sekolah sehari buat naik kereta ntar, selebihnya serahin ke aku... sama kangmas Bendot semua beres”

               Bendot sahabat ku, sang negoisator ulung. Entah ilmu lobi apa yang dia pelajari, setiap kali dia bernegoisasi selalu berujung positif. Dan beberapa kali aku tak bisa menolak ajakannya. Semua diatas adalah nama-nama samaran. Seperti halnya pelaku kriminal, kami di sekolah juga menggunakan nama samaran. Sandi alias Bendot, Sunarji alias wok ji, Bahroni alias mbah, dan aku sendiri tanpa alias. Micky nama yang asing untuk orang indonesia, dan cukup mewakili nama samaran.

               Sejak keluar dari eskul Pecinta Alam dan bergabung dengan Jurnalis, aku justru lebih banyak mengenal alam. Beberapa pendakian gunung2 di jawatimur, serta susur pantai sering aku lakukan bersama teman2 pendaki dan anggota pencinta alam yang dulu aku ikuti. Wilis memang bukan pertama kali, aku sudah hafal dengan medan pendakian. Tidak begitu sulit. Hanya saja aku belum tau cerita tentang gunung itu...

                 Matahari cukup terik di sabtu siang yang panas. Masih menyisakan 2 jam pelajaran praktikum . Tapi aku enggan kembali ke bengkel, masih ku nikmati tegukan-tegukan es teh terakhir ku di kantin. Ku lirik di sebelah kananku ada pak Waluyo yang tengah asik menikmati nasi pecel nya, sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya yang panas. Tatapannya tak lepas dari koran lokal hari ini.

“ada berita apa pak?”


              aku cukup kenal pak waluyo, kegiatan ekstra kurikuler jurnalis sering mengadakan diklat malam di sekolah mengharuskan ku berhubungan dengan pak waluyo terkait ijin keamanan sekolah. Beliau orang pasuruan dan selama bekerja di sini pihak sekolah menyediakan tempat tinggal berupa rumah kecil di pojok sekolah. Jadi dia tau seluk beluk tentang sekolah ini, termasuk cerita-cerita seram yang pernah dia alami. Tapi hari ini aku tidak mau bertanya soal itu.

“ini lho mas... cuma berita2 pembunuhan... orang2 kok gak mikir dulu mau ngelakuin itu”
“paling namanya juga kepepet pak, udah gak bisa berfikir jernih”
“kok kayaknya nyawa manusia gak berharga gitu ya...”
“iya juga ya pak...”

aku meneguk es teh terakhir ku, dan mencoba mengumpulkan kembali semangatku untuk kembali mengikuti praktikum.

“ndak ada pelajaran toh mas?”
“ada pak... cuma males...”
“lho kenapa mas?”
“iya pak.. pengen cepat pulang... rencananya mau naik gunung sama temen-temen pak”
“waahh jos lek gitu... memangnya mau ke gunung mana?”
“ke Wilis pak... lewat jalur Besuki”

Pak Waluyo melanjutkan suapan terakhir nasi pecelnya, seperti menahan beberapa saat apa yang mau dia ucapkan.

“gunung wilis itu sejarahnya panjang...”
“lho bapak tau sejarah nya?”
“cuma sekilas aja... dulu waktu jaman belanda, pejuang2 yang melawan belanda bersembunyi di puncak wilis dan mendirikan padepokan disana. Sembunyi sekaligus menyusun kekuatan. Seorang kyai yang membangun padepokan itu. Dan katanya dulu saat padepokan mereka di serang belanda, beberapa orang berhasil kabur. Sisanya di tembak dan di bantai. Mayat2 mereka dibuang ke jurang.”
“ya saya pernah denger cerita itu pak, tapi puncaknya yang mana saya juga belum tahu. Kan wilis punya beberapa puncak pak”
“banyak lah mas cerita-cerita kaya gitu, ada juga yang bilang gunung wilis itu tempat pengasingan putri majapahit. Yang di buang kesana dalam keadaan hamil. Bisa di bilang karena intrik kerajaan. Yang akhirnya putri itu mati bunuh diri.”
“nah ini yang saya belum pernah dengar pak”
“di setiap tempat pasti ada kok cerita-cerita kayak gini mas, gunung arjuno dan gunung kawi yang paling wingit. Tapi gak usah khawatir, asal niat kita baik gak akan ada apa2.”
“iya pak... amin...”


            Aku melihat pak waluyo lebih dari seorang penjaga sekolah. Dia punya pengalaman yang cukup banyak. Mungkin dia bukan seorang pendaki gunung, tapi masa mudanya pasti penuh dengan hal-hal yang menantang.
...


             jam 14.15 kami sudah siap di stasiun Blitar, menunggu kereta menuju stasiun Ngadiluwih Kediri. Gerbang masuk kami menuju gunung wilis. Di kereta itu juga teman-teman dari Talun menumpang. Aku, Bendot, dan Wok Ji berangkat dari stasiun Blitar. Sedangkan Mbah tidak bisa berangkat bersamaan, karena suatu acara dia menyusul esok harinya. Mbah alias Bahroni memiliki perawakan kurus kecil, namun pintar, pemberani dan mencintai alam. Dia termasuk anak pintar di kelas.

           Sesaat kemudian peluit panjang berbunyi menandakan kereta jurusan Kertosono siap masuk ke stasiun Blitar. Perlahan-lahan kereta memasuki jalur 2, dan dari deretan gerbong belakang ku lihat beberapa orang berdiri di pintu memanggil2 kami yang sedari tadi menunggu kereta. Mereka teman-teman kami dari Talun. Wanita-wanita pendaki yang tangguh.

“watsaabb sooob... gerbong belakang aja ya... tenang logistik aman... gak bakal kelaparan kita...wkwkwk”

           Gayul alias Yula, perawakannya kecil namun gila akan naik gunung. Pengalamannya naik gunung melebihi aku. Dia juga memiliki banyak relasi para pendaki seluruh indonesia. Aku yakin seandainya kami tersesat dan bertahan hidup di hutan maka pasti dia yang paling lama bisa bertahan hidup. Dia lebih cinta gunung dari pada cowok, itu yang membuat dia masih tetap jomblo.

“aku tuh percaya tok sama kamu yul... pokoknya apapun menu makan malam kita ntar aku serahin semua ke kamu aja... meski makan mie rakyat tok yo ndak papa... aku ikhlas...wkwkwk”


              Bendot selalu bisa menjadi ice breaker diantara kami. Sifatnya yang periang terkadang menjadi “kotak musik” saat pendakian, karena tak henti-hentinya dia meracau. Namun di balik itu dia juga menjadi pemikir yang tenang saat kami mengalami hal buntu, dia selalu bisa memberi solusi meski kadang bukan solusi yang cerdas.

           Kereta kami berjalan perlahan meninggalkan stasiun Blitar, kira-kira 1 jam perjalanan menuju Ngadiluwih. Stasiun Ngadiluwih adalah sebuah stasiun kecil namun telah berusia tua. Sebelah selatan kota Kediri.

           Setibanya di stasiun Ngadiluwih, aku merasakan betul aura kolonial di stasiun ini. Hampir semua stasiun di indonesia adalah peninggalan belanda. Mulai arsitektur dan gaya bangunan semua adalah rancangan jaman kolonial belanda. Stasiun sebagai sarana transportasi yang sekaligus saksi bisu penyiksaan tentara belanda terhadap kaum pribumi.

         Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kecamatan Mojo. Kecamatan kecil di hulu sungai. Jaraknya sekitar 2-3 kilo meter, tidak ada kendaraan umum. Jalan satu-satunya adalah melalui jalan desa yang belum beraspal dan bedebu. Untuk mencapai kecamatan mojo, kami harus menyeberangi sungai menggunakan perahu tambang. Warga disana biasanya menyebutnya “Tambangan” perahu kayu yang di kaitkan dengan tali tambang. Ini adalah cara alternatif daripada harus memutar mencari jembatan terdekat.

           Sekitar 1 jam berjalan kaki, kami sampai di kecamatan mojo. Disana kami harus mencari tumpangan mobil pick up untuk naik ke wisata air terjun Irenggolo melalui Besuki. Irenggolo adalah pos terakhir, sebelum akhirnya perjalanan harus di lalui dengan berjalan kaki naik melewati hutan. Selama perjalanan menggunakan pick up pemandangan sangat bagus dengan hamparan hutan dan ladang2 warga yang tampak hijau. Meski langit sudah mulai mendung, tapi semangat kami tetap tidak terbendung

“ntar kl hujan gimana? Kita berteduh dulu di Irenggolo?”
“jangan...kita lanjut aja... masih sekitar 3 jam perjalanan menuju romusha. Bahaya kl sampai kemalaman”
“trus tas dan peralatan aman kl hujan deras ntar?”
“kayaknya semua tas tercover... aman... kl bisa sebelum jam 7 kita udah nge-camp di sana.”

            Romusha adalah lembah dari semua puncak di wilis. Sebuah dataran rendah yang menjadi spot camp favorit para pendaki. Disamping letaknya landai, sumber air berupa sungai pun dekat. Romusha dan beberapa puncak di gunung wilis membentuk sebuah konfigurasi semacam tapal kuda. Yang pemandangannya nampak lanscape kota Kediri. Itukah kenapa Romusha menjadi spot favorit, karena pemandangan nya bagus dan indah.

            Setelah Pick up sampai pos terakhir, Jam 16.45 kami melanjutkan perjalanan menuju lembah romusha di tengah hujan gerimis yang dingin. Melewati jalan setapak di sela-sela hutan pinus. Aku melihat beberapa alat berat terparkir di sekitar situ. Sepertinya pemerintah akan membuka jalan baru di situ menuju Air Terjun Ndolo. Air terjun baru yang beberapa waktu lalu di temukan oleh para pendaki. Yang mana jelas hal ini akan merusak hutan dan konservasi alam sekitar demi pundi-pundi rupiah dari kawasan wisata.

             Peduli apa aku tentang mereka, aku hanya mempercepat langkahku agar segera sampai ke romusha. Setelah beberapa saat berjalan melewati hutan pinus tiba lah kami harus naik untuk melewati hutan liar. Disini kami harus merubah formasi barisan. Bendot di depan senter, cewek2 di tengah membawa 1 lampu minyak dan aku paling belakang dengan sebuah lampu minyak sebagai penyapu jalan.

             Hari sudah mulai gelap, ada banyak hal yang perlu di perhatikan dalam pendakian malam hari. Selain medan yang kita tempuh rawan akan jurang, kita juga perlu memperhatikan tanah atau jembatan kayu yang kita pijak. Karena jika tidak waspada, bahaya terperosok akan terjadi. Hal ini yang sering di alami para pendaki terperosok masuk jurang karena tidak memperhatikan apa yang dia pijak.

Dan satu lagi... aturan yang tidak pernah terucap olah siapa saja pendaki yang berapa di barisan paling belakang saat pendakian malam...


jangan pernah menoleh kebelakang apapun alasannya, karena bisa saja mungkin kamu bukan yang paling belakang...



Banyak pendaki yang paham akan situasi tersebut, dan sial nya... aku melanggar peraturan itu...

              kami berjalan dengan barisan yang cukup rapat. Hanya berjarang setengah meter dari orang yang di depannya. Dan sesekali kami absen untuk memastikan semua anggota ada dan baik2 saja. Dan lagi untuk memastikan agar tidak ada “penyusup” diantara barisan. Mungkin kalian paham apa yang aku sebut sebagai “penyusup”...

              Sekitar 1 jam perjalanan setelah memasuki hutan, aku yang berapa paling belakang mulai merasa ada yang ganjil. Aku merasa bagian belakang kepalaku seperti ada hembusan angin hangat. Tapi bukan angin yang menerpa lampu minyak yang sedang aku bawa di tangan kanan ku. Ini terasa sangat dekat di kepala belakangku terasa hingga ke leher.

              Lebih seperti hembusan nafas, pelan dan teratur. Namun terasa cukup hangat untuk ukuran udara gunung yang dingin. Aku mulai tidak fokus dengan barisan, hampir tertinggal 3-4 meter dari barisan di depan ku. Aku terus berfikir hembusan apa ini yang sesekali diam dan sesekali terasa. Dan tiba-tiba ransel yang kubawa menjadi lebih berat. Aneh... kenapa ini? Ransel yang ku bawa hanya berisi baju dan beberapa logistik. Dan sekarang menjadi berat, lebih berat dari awal aku membawanya.

               Tidak mungkin hanya karena gerimis, tas menjadi begitu berat. Bahu ku pun mulai terasa sakit. Kenapa ini? Langkahku pun ikut melambat. Namun jika aku berhenti, aku akan tertinggal jauh dari teman-temanku di depan. Aku terus berjalan sambil melantunkan ayat-ayat alquran, karena aku sadar ada yang tidak beres di belakangku.

                  Beberapa saat kemudian, hembusan itu sudah tidak terasa lagi. Dan ransel yang aku bawa juga kembali seperti semula. Belum sempat aku berfikir macam-macam kuarahkan lampu minyak yang aku bawa kearah belakang untuk mencari tahu apa yang membuatku serasa membawa beban berat....

        Sepasang cahaya kecil merah menyala di sela-sela pohon2. Tak jauh dari tempatku berdiri. Cahaya apa itu... itu... sebentar itu bukan cahaya... itu sepasang mata... jadi yang naik di tas ransel ku dan hembusan itu...

dia...

ku percepat langkahku setengah berlari sambil memanggil2 teman ku di depan yang mulai tak nampak lampu2 mereka...

“ndot!!... Bendhot!!”

aku mempercepat lagi langkahku, jalanan yang mulai licin membuatku hampir terpeleset. Tapi aku harus menyusul mereka...

“Ndooot...!!”
“eh... kenapa... kok lari kamu bro?”
“Hhh...hhh... cepet jalan... cepet...”
“kenapa???”
“udah cepet jalan aja... gak usah noleh kebelakang... cepat!!”

kami lebih mempercepat langkah. Dan kembali mengatur formasi barisan. Aku memilih untuk pindah kedepan. Bahaya jika aku tetap di belakang... bahaya...

Tak berapa lama kami tiba di romusha. Ku lirik jam menunjukkan 19.15. lebih cepat dari waktu yang di jadwalkan. Mungkin karena kami lebih mempercepat langkah setelah sesuatu hal yang menimpa ku. Aku masih duduk terdiam dengan keringat yang membasahi kaos yang aku kenakan. Teman-teman sibuk mendirikan tenda dan membuka perbekalan. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

“Setan Gunung...”
“Haaahhh!!... serius?? jadi yang naik di tas ransel ku itu??”

aku menceritakan apa yang aku alami ke mereka di dalam tenda. Wok Ji paling paham soal hal ini, dari cerita ke cerita dia sudah mengerti apa resikonya jika kita melalui pergantian waktu saat naik gunung dan masuk ke dalam hutan.

“Magrib... pergantian dari siang ke malam...saat gerbang diantara nyata dan ghaib terbuka. Itulah kenapa saat kecil kita sering di suruh masuk rumah oleh orang tua saat magrib tiba...”
“trus hubungannya dengna kejadian barusan?”
“Setahu aku saat gerbang terbuka, mereka akan selalu mencari kehidupan untuk mereka dekati atau sekedar menampakkan diri. Itulah kenapa mereka hadir di belakang kita... terlebih lagi ini adalah hutan... dan kita tidak tahu makhluk apa aja yang ada disini.”

udara dingin dan suara decitan pohon bambu dari bawah lembah membuat suasana semakin mencekam. Aku hanya terdiam sambil menatap lepas kearah lembah di bawah sana. Ini baru pertama kali aku alami saat pendakian. Begitu dekat... sangat dekat...

...

Udara pagi menusuk sangat tajam ke pori-pori kulit ku. Tenda dan sleeping bag yang aku pakai seperti tidak ada fungsinya. Udara dingin tetap menghunus. Aku lihat Bendot masih tertidur di bawa tumpukan tas. Sengaja dia tumpuk untuk melawan dingin. Sedangkan Wok Ji sudah ada di luar dengan kopi panas buatan Gayul

“Udah ngopi sini dulu bro...biar tenang”
“Siap bro...”

dengan mata yang masih menahan kantuk aku paksakan keluar tenda untuk meneguk segelas kopi guna mengusir udara dingin ini dari tubuhku. Rasanya begitu hangat dan membuat pikiran sedikit lebih tenang.

“Ji... pantangan apa aja sih yang sering kamu hindari pas lagi naik gini?”
“nggak ada pantangan bro, cuma kita harus bisa sama-sama menjaga.”
“maksudnya?”
“ya kita kan masuk ke wilayah yang liar. Ada banyak makhluk di tempat seperti ini. Ada tanaman, hewan dan apa yang kamu temuin semalam. Jadi kita tidak perlu mengusik mereka”
“iyaa... aku paham sih..”
“tapi jika mereka yang mengusik kita... kita tahu bagaimana harus bertahan...”

banyak hal yang belum aku mengerti tentang alam. Aku bukan Pecinta Alam sejati, aku hanya orang yang mencoba memahami bahasa alam dan semua yang ada di dalam nya... obrolan ini kami akhiri dengan sarapan mie instan yang lezat...

Hujan kembali turun, kali ini cukup deras. Kami hanya ngobrol di bawah tenda. Dan berharap hujan cepat reda, agar rencana kami naik ke puncak tetap terlaksana. Puncak terdekat berjarak sekitar 1.5 jam perjalanan. Menyusuri punggung gunung yang kiri dan kanannya adalah jurang menuju lembah. Waktu yang tepat untuk menuju puncak adalah siang hari... tapi hujan masih menghalangi kami untuk naik...

tepat pukul 14.00 hujan reda, matahari mulai naik menyapu bintik-bintik air yang tertinggal. Kabut yang menutup puncak mulai terarak menjauh.

“yuk coy kita naik... air dan bekal makanan di ransel kecil... bisa gue bawa... yang lain bawa air seperlunya aja”

Bendot memang paling semangat untuk urusan seperti ini. Dia selalu prepare apa saja yang di perlukan.

“aku yang paling depan barisan, ntar ikuti jejak ku aja. Rute masih licin karena hujan. Ndot belakang yo... biar air bisa di jangkau yang kelelahan”
“Siaaappp”

Wok ji udah berulang kali ke puncak wilis, dia lebih paham medan pendakian. Dia juga yang sering meracuni ku untuk ikut setiap pendakian yang mau dia adakan.

Kami mulai naik menuju puncak. Benar kata Wok ji, jalan cukup licin. Beberapa kali sendal yang aku pakai terpeleset. Kami harus mencari track yang bener2 kering untuk melangkah. Semakin atas pemandangan semakin bagus. Lembah di bawah sana semakin terlihat jelas. Ada 1 gubuk kecil di tengah lembah, dan gubuk itu di huni oleh seorang lelaki. Menghindari keramaian dunia. Pekerjaannya mencari rebung/ bambu muda. Untuk dijual di pos terakhir dibawah. Dan uangnya untuk membeli bahan makanan. Benar2 lelaki pemberani dan tangguh.

Sekitar 1 jam 20 menitan kami tiba di puncak. Sebidang tanah yang cukup luas dengan rumput2 ilalang. Ada beberapa pohon kecil yang tumbuh di tengah2nya. Tak heran jika banyak pendaki yang tidak ingin melewatkan puncak ini, pemandangannya luar biasa indah. Tapal kuda romusha semakin terlihat jelas. Kota kediri terlihat titik-titik indah dari kejauhan.

Lelap dalam bermain dan menikmati puncak, kami baru sadar waktu udah merangkak ke 16.30. Yang artinya kami harus segera turun, gelap akan segera tiba. Dan sialnya lagi...

“Ndot... gak ada yang bawa lampu??”
“anjrrit... lupa...”

Kami tak ada yang membawa lampu, dan pasti akan kemalaman untuk sampai kebawah. Aku mencoba untuk mencari alternatif lain sebagai penerangan.

“Ji... senter atau korek bawa gak?”
“gak bawa juga... yaudah langsung turun aja”

Aku berjalan lebih dulu di depan, diikuti oleh gayul dan pipit. Sedangkan di belakang ada Wokji, mbak Mitra dan Bendot yang berjalan perlahan sebagai penyapu jalan. Aku tak yakin bisa sampai tenda kami sebelum gelap. Meski ku percepat langkahku, aku harus tetap hati-hati. Kiri dan kanan jurang yang cukup jalan mengancam kami jika kami lengah.

Beberapa saat berjalan, dari kejauhan ku lihat seseorang membawa 2 buah lampu di tangan kiri dan kanannya. Mbah... dia datang juga... datang di waktu yang tepat...

“Mbah!!”
“nih bawa 1 lampu... cepat turun, hari sudah mulai gelap. Aku keatas untuk menyusul mereka”

bergegas ku percepat langkah. Kami pasti kemalaman di jalan, tapi yang aku pikirkan secepat mungkin aku aku ingin tiba di camp. Dan kami harus tetap bersama, jangan sampai terpisah.

“Yul, Pit... saling pegang pundak aja yo...”
“kenapa gitu?”
“biar kita gak kepisah jauh... firasat ku gak enak...”

baru beberapa saat aku berkata demikian, pipit merasakan hal yang tidak biasa...

“guys... cepetan dunk jalan... yuk cepat yuk...”
“kenapa pit? Gak bisa cepet jalannya licin nih”
“udah cepet aja... ayo cepetan...”

Lagi, aku melanggar aturan untuk tidak menoleh kebelakang apapun alasannya. Rasa penasaranku mengabaikan itu semua. Begitu ku arahkan lampu minyak di tangan kanan ku kearah belakang, aku lihat dengan jelas...

Sesosok pria berwajah pucat dengan tangan kanan berlumuran darah. Kaos lengan pendek nya lusuh dan banyak bercak-bercak darah. Wajahnya pucat dengan tatapan menunduk kebawah. Rambutnya pun kumal, pendek sebatas telinga. Berjalan perlahan 2-3 meter di belakang pipit. Siapa?? siapa orang itu?? yang jelas bukan salahsatu diantara kami... bukan...

Lagi... terjadi lagi...

Pipit semakin histeris, dia tidak tau apa yang ada di belakangnya. Dia hanya merasa gelisah dan ingin cepat sampai di camp. Aku berusaha untuk tetap tenang dan mempercepat langkah. Jika aku panik dan berteriak suasana akan semakin kacau. Sedangkan kiri dan kanan kami adalah jurang. Aku harus tetap tenang...

“kamu yakin??”
“aku yakin! Wajah pucat dan darah itu tanda, dia meninggal dengan cara yang tidak wajar... mungkin kita udah akrab dengan wilis, tapi apakah 'mereka' juga perlu akrab dengan kita???”

Kami hanya bisa saling terdiam di dalam tenda, 2 kejadian ganjil berturut2. Dan hanya aku yang melihat. Entah bagaimana harus meyakinkan mereka. Tapi aku yakin mereka masing-masing pasti merasakan ada yang tidak beres di pendakian kali ini...

“Kita turun besok pagi... malam ini segera matikan api dan kembali tidur. Besok pagi kita berkemas dan turun. Sebelum magrib kita udah sampai di stasiun. Dan masih bisa ngejar kereta terakhir besok malam”
“Oke deal...”

Aku tidak mau mengambil resiko terlalu jauh. Aku pernah punya pengalaman yang tidak enak dengan 'mereka' dan mungkin masih aku bawa hingga sekarang. Namun aku tidak mau hal itu juga menghantui teman-teman ku. Malam ini begitu lengang, kami terlelap di sleeping bag masing-masing. Dan masih di temani decitan suara pohon bambu yang tertiup angin lembah.

...

10.15 kami baru bisa berkemas dan bersiap untuk turun. Hujan tak berhenti sejak subuh tadi. Sangat mengkhawatirkan jika kami nekat untuk turun di bawah derasnya hujan. Kami lebih memilih menunggu hingga hujan reda.

12.45 kami udah keluar dari hutan, menuju proyek pembukaan lahan untuk jalan utama menuju wisata air terjun dholo. Hujan kembali deras, dan kami putuskan berteduh di sebuah gubuk pekerja. Ada seorang pencari rebung yang juga berteduh sembari menikmati rokok kretek di setiap hisapannya.

“nyuwun sewu nggih pak...”
“iya mas... monggo...”
“pulang cari rebung ya pak?”
“Iya mas... rombongan dari mana mas?”
“Blitar pak... baru nge-camp di romusha”

Orang tua itu hanya tersenyum dan melanjutkan hisapan kreteknya. Asap rokok dalam keadaan seperti ini bisa menjadi penghangat dan pelepas lelah. Begitu hujan reda, orang tua itu memanggul tas karung rebung nya dan menyalakan rokok sembari berkata kearahku...

“besok lagi kalau ke romusha jangan jauh2 dari tenda waktu malam hari mas...atau malah jangan tinggalkan tenda. Karena setelah mas masuk lagi, mungkin sudah ada yang masuk duluan dan duduk di pojokan... monggo mas...”

Sontak bulu kuduk ku merinding. Teman-temanku yang lain pun diam saling bertatapan. Sepertinya orang itu tau apa yang aku alami. Atau lebih tepatnya apa yang sering pendaki-pendaki lain alami... Wilis lebih dari sekedar gunung...

Lepas Isya kami sudah ada di kereta. Kereta terakhir menuju Blitar. Suasana gerbong sepi. Hanya beberapa ruas kursi saja yang ditempati. Beberapa dari kami juga lebih memilih untuk tidur. Wok ji di sebelahku juga diam saja sejak awal naik kereta. Perjalanan yang melelahkan. Hanya aku yang masih terjaga. Pikiranku masih tidak karuan. Antara lega dan takut. Setiap tempat pasti memiliki rahasia masing-masing.

Aku tidak bermaksud mengusik mereka, tapi mereka berhak menunjukkan keberadaannya saat daerah yang mereka tempati di masuki makhluk lain. Entah lah... akal sehatku belum bisa menerima ini semua.

“naah ini disini semua... tak cariin... aku naik dari depan tadi, ketemu teman SMP...”

Wok Ji didepan?? bentar-bentar... kalau begitu yang dari tadi di sebelah ku??




0
Share
Older Posts Home

Who Am I ?




Welcome to Bang Baron!


Yang Lagi Rame NIh...

  • Hati Berdebar dan Gelisah saat lampu indikator Check Engine Menyala
    Menerka-nerka alasan  check engine  menyala ternyata cukup bikin nggak nyaman. Apalagi kalau masalahnya belum ketemu-ketemu. Buat ...
  • Who am I ?
    "Apalah arti sebuah nama ?" Serius saya nggak tau apa yang di maksud oleh pencetus pepatah disamping. tapi oke lah ayo kita bedah...

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
Copyright © 2015 Bang Baron

Created By ThemeXpose