Angin Hangat Lembah Wilis



Angin Hangat Lembah Wilis
Angin Hangat Lembah Wilis


Suatu siang di tahun 2004,

              Teeng... teeeng... teeeng!! bel pulang sekolah baru berbunyi. Pukulan tangan pak waluyo masih cukup kuat untuk membuat velg mobil bekas itu berbunyi nyaring. Pria paruh baya yang sudah 15 tahun mengabdi sebagai penjaga sekolah. Aku masih belum meninggalkan kelas, tumpukan buku di depan ku belum selesai ku rapikan. Di Hari rabu siang aku tidak ada Praktikum, surga buat anak STM Negeri Blitar bisa pulang barengan ama anak SMA lainnya.
Selain bisa menikmati indahnya tidur siang, sejenak mampir dan nongkrong di SMA sebelah adalah sebuah hobi yang sangat indah.

“sob... sabtu wilis... naik sabtu siang, turun senin sore. Kan senin libur tanggal merah. Gmn?”
“lagi malas Ndi. Emang siapa aja?”
“mungkin ntar aku, Wok ji, mbahroni sama beberapa cewek-cewek dari Sma Talun. Gayul , Pipit dan mbak Mitra. Genk -genk kita aja lah...”
“lagi bokek nih aku...”
“udah... sisihin aja uang saku sekolah sehari buat naik kereta ntar, selebihnya serahin ke aku... sama kangmas Bendot semua beres”

               Bendot sahabat ku, sang negoisator ulung. Entah ilmu lobi apa yang dia pelajari, setiap kali dia bernegoisasi selalu berujung positif. Dan beberapa kali aku tak bisa menolak ajakannya. Semua diatas adalah nama-nama samaran. Seperti halnya pelaku kriminal, kami di sekolah juga menggunakan nama samaran. Sandi alias Bendot, Sunarji alias wok ji, Bahroni alias mbah, dan aku sendiri tanpa alias. Micky nama yang asing untuk orang indonesia, dan cukup mewakili nama samaran.

               Sejak keluar dari eskul Pecinta Alam dan bergabung dengan Jurnalis, aku justru lebih banyak mengenal alam. Beberapa pendakian gunung2 di jawatimur, serta susur pantai sering aku lakukan bersama teman2 pendaki dan anggota pencinta alam yang dulu aku ikuti. Wilis memang bukan pertama kali, aku sudah hafal dengan medan pendakian. Tidak begitu sulit. Hanya saja aku belum tau cerita tentang gunung itu...

                 Matahari cukup terik di sabtu siang yang panas. Masih menyisakan 2 jam pelajaran praktikum . Tapi aku enggan kembali ke bengkel, masih ku nikmati tegukan-tegukan es teh terakhir ku di kantin. Ku lirik di sebelah kananku ada pak Waluyo yang tengah asik menikmati nasi pecel nya, sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya yang panas. Tatapannya tak lepas dari koran lokal hari ini.

“ada berita apa pak?”


              aku cukup kenal pak waluyo, kegiatan ekstra kurikuler jurnalis sering mengadakan diklat malam di sekolah mengharuskan ku berhubungan dengan pak waluyo terkait ijin keamanan sekolah. Beliau orang pasuruan dan selama bekerja di sini pihak sekolah menyediakan tempat tinggal berupa rumah kecil di pojok sekolah. Jadi dia tau seluk beluk tentang sekolah ini, termasuk cerita-cerita seram yang pernah dia alami. Tapi hari ini aku tidak mau bertanya soal itu.

“ini lho mas... cuma berita2 pembunuhan... orang2 kok gak mikir dulu mau ngelakuin itu”
“paling namanya juga kepepet pak, udah gak bisa berfikir jernih”
“kok kayaknya nyawa manusia gak berharga gitu ya...”
“iya juga ya pak...”

aku meneguk es teh terakhir ku, dan mencoba mengumpulkan kembali semangatku untuk kembali mengikuti praktikum.

“ndak ada pelajaran toh mas?”
“ada pak... cuma males...”
“lho kenapa mas?”
“iya pak.. pengen cepat pulang... rencananya mau naik gunung sama temen-temen pak”
“waahh jos lek gitu... memangnya mau ke gunung mana?”
“ke Wilis pak... lewat jalur Besuki”

Pak Waluyo melanjutkan suapan terakhir nasi pecelnya, seperti menahan beberapa saat apa yang mau dia ucapkan.

“gunung wilis itu sejarahnya panjang...”
“lho bapak tau sejarah nya?”
“cuma sekilas aja... dulu waktu jaman belanda, pejuang2 yang melawan belanda bersembunyi di puncak wilis dan mendirikan padepokan disana. Sembunyi sekaligus menyusun kekuatan. Seorang kyai yang membangun padepokan itu. Dan katanya dulu saat padepokan mereka di serang belanda, beberapa orang berhasil kabur. Sisanya di tembak dan di bantai. Mayat2 mereka dibuang ke jurang.”
“ya saya pernah denger cerita itu pak, tapi puncaknya yang mana saya juga belum tahu. Kan wilis punya beberapa puncak pak”
“banyak lah mas cerita-cerita kaya gitu, ada juga yang bilang gunung wilis itu tempat pengasingan putri majapahit. Yang di buang kesana dalam keadaan hamil. Bisa di bilang karena intrik kerajaan. Yang akhirnya putri itu mati bunuh diri.”
“nah ini yang saya belum pernah dengar pak”
“di setiap tempat pasti ada kok cerita-cerita kayak gini mas, gunung arjuno dan gunung kawi yang paling wingit. Tapi gak usah khawatir, asal niat kita baik gak akan ada apa2.”
“iya pak... amin...”


            Aku melihat pak waluyo lebih dari seorang penjaga sekolah. Dia punya pengalaman yang cukup banyak. Mungkin dia bukan seorang pendaki gunung, tapi masa mudanya pasti penuh dengan hal-hal yang menantang.
...


             jam 14.15 kami sudah siap di stasiun Blitar, menunggu kereta menuju stasiun Ngadiluwih Kediri. Gerbang masuk kami menuju gunung wilis. Di kereta itu juga teman-teman dari Talun menumpang. Aku, Bendot, dan Wok Ji berangkat dari stasiun Blitar. Sedangkan Mbah tidak bisa berangkat bersamaan, karena suatu acara dia menyusul esok harinya. Mbah alias Bahroni memiliki perawakan kurus kecil, namun pintar, pemberani dan mencintai alam. Dia termasuk anak pintar di kelas.

           Sesaat kemudian peluit panjang berbunyi menandakan kereta jurusan Kertosono siap masuk ke stasiun Blitar. Perlahan-lahan kereta memasuki jalur 2, dan dari deretan gerbong belakang ku lihat beberapa orang berdiri di pintu memanggil2 kami yang sedari tadi menunggu kereta. Mereka teman-teman kami dari Talun. Wanita-wanita pendaki yang tangguh.

“watsaabb sooob... gerbong belakang aja ya... tenang logistik aman... gak bakal kelaparan kita...wkwkwk”

           Gayul alias Yula, perawakannya kecil namun gila akan naik gunung. Pengalamannya naik gunung melebihi aku. Dia juga memiliki banyak relasi para pendaki seluruh indonesia. Aku yakin seandainya kami tersesat dan bertahan hidup di hutan maka pasti dia yang paling lama bisa bertahan hidup. Dia lebih cinta gunung dari pada cowok, itu yang membuat dia masih tetap jomblo.

“aku tuh percaya tok sama kamu yul... pokoknya apapun menu makan malam kita ntar aku serahin semua ke kamu aja... meski makan mie rakyat tok yo ndak papa... aku ikhlas...wkwkwk”


              Bendot selalu bisa menjadi ice breaker diantara kami. Sifatnya yang periang terkadang menjadi “kotak musik” saat pendakian, karena tak henti-hentinya dia meracau. Namun di balik itu dia juga menjadi pemikir yang tenang saat kami mengalami hal buntu, dia selalu bisa memberi solusi meski kadang bukan solusi yang cerdas.

           Kereta kami berjalan perlahan meninggalkan stasiun Blitar, kira-kira 1 jam perjalanan menuju Ngadiluwih. Stasiun Ngadiluwih adalah sebuah stasiun kecil namun telah berusia tua. Sebelah selatan kota Kediri.

           Setibanya di stasiun Ngadiluwih, aku merasakan betul aura kolonial di stasiun ini. Hampir semua stasiun di indonesia adalah peninggalan belanda. Mulai arsitektur dan gaya bangunan semua adalah rancangan jaman kolonial belanda. Stasiun sebagai sarana transportasi yang sekaligus saksi bisu penyiksaan tentara belanda terhadap kaum pribumi.

         Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kecamatan Mojo. Kecamatan kecil di hulu sungai. Jaraknya sekitar 2-3 kilo meter, tidak ada kendaraan umum. Jalan satu-satunya adalah melalui jalan desa yang belum beraspal dan bedebu. Untuk mencapai kecamatan mojo, kami harus menyeberangi sungai menggunakan perahu tambang. Warga disana biasanya menyebutnya “Tambangan” perahu kayu yang di kaitkan dengan tali tambang. Ini adalah cara alternatif daripada harus memutar mencari jembatan terdekat.

           Sekitar 1 jam berjalan kaki, kami sampai di kecamatan mojo. Disana kami harus mencari tumpangan mobil pick up untuk naik ke wisata air terjun Irenggolo melalui Besuki. Irenggolo adalah pos terakhir, sebelum akhirnya perjalanan harus di lalui dengan berjalan kaki naik melewati hutan. Selama perjalanan menggunakan pick up pemandangan sangat bagus dengan hamparan hutan dan ladang2 warga yang tampak hijau. Meski langit sudah mulai mendung, tapi semangat kami tetap tidak terbendung

“ntar kl hujan gimana? Kita berteduh dulu di Irenggolo?”
“jangan...kita lanjut aja... masih sekitar 3 jam perjalanan menuju romusha. Bahaya kl sampai kemalaman”
“trus tas dan peralatan aman kl hujan deras ntar?”
“kayaknya semua tas tercover... aman... kl bisa sebelum jam 7 kita udah nge-camp di sana.”

            Romusha adalah lembah dari semua puncak di wilis. Sebuah dataran rendah yang menjadi spot camp favorit para pendaki. Disamping letaknya landai, sumber air berupa sungai pun dekat. Romusha dan beberapa puncak di gunung wilis membentuk sebuah konfigurasi semacam tapal kuda. Yang pemandangannya nampak lanscape kota Kediri. Itukah kenapa Romusha menjadi spot favorit, karena pemandangan nya bagus dan indah.

            Setelah Pick up sampai pos terakhir, Jam 16.45 kami melanjutkan perjalanan menuju lembah romusha di tengah hujan gerimis yang dingin. Melewati jalan setapak di sela-sela hutan pinus. Aku melihat beberapa alat berat terparkir di sekitar situ. Sepertinya pemerintah akan membuka jalan baru di situ menuju Air Terjun Ndolo. Air terjun baru yang beberapa waktu lalu di temukan oleh para pendaki. Yang mana jelas hal ini akan merusak hutan dan konservasi alam sekitar demi pundi-pundi rupiah dari kawasan wisata.

             Peduli apa aku tentang mereka, aku hanya mempercepat langkahku agar segera sampai ke romusha. Setelah beberapa saat berjalan melewati hutan pinus tiba lah kami harus naik untuk melewati hutan liar. Disini kami harus merubah formasi barisan. Bendot di depan senter, cewek2 di tengah membawa 1 lampu minyak dan aku paling belakang dengan sebuah lampu minyak sebagai penyapu jalan.

             Hari sudah mulai gelap, ada banyak hal yang perlu di perhatikan dalam pendakian malam hari. Selain medan yang kita tempuh rawan akan jurang, kita juga perlu memperhatikan tanah atau jembatan kayu yang kita pijak. Karena jika tidak waspada, bahaya terperosok akan terjadi. Hal ini yang sering di alami para pendaki terperosok masuk jurang karena tidak memperhatikan apa yang dia pijak.

Dan satu lagi... aturan yang tidak pernah terucap olah siapa saja pendaki yang berapa di barisan paling belakang saat pendakian malam...


jangan pernah menoleh kebelakang apapun alasannya, karena bisa saja mungkin kamu bukan yang paling belakang...



Banyak pendaki yang paham akan situasi tersebut, dan sial nya... aku melanggar peraturan itu...

              kami berjalan dengan barisan yang cukup rapat. Hanya berjarang setengah meter dari orang yang di depannya. Dan sesekali kami absen untuk memastikan semua anggota ada dan baik2 saja. Dan lagi untuk memastikan agar tidak ada “penyusup” diantara barisan. Mungkin kalian paham apa yang aku sebut sebagai “penyusup”...

              Sekitar 1 jam perjalanan setelah memasuki hutan, aku yang berapa paling belakang mulai merasa ada yang ganjil. Aku merasa bagian belakang kepalaku seperti ada hembusan angin hangat. Tapi bukan angin yang menerpa lampu minyak yang sedang aku bawa di tangan kanan ku. Ini terasa sangat dekat di kepala belakangku terasa hingga ke leher.

              Lebih seperti hembusan nafas, pelan dan teratur. Namun terasa cukup hangat untuk ukuran udara gunung yang dingin. Aku mulai tidak fokus dengan barisan, hampir tertinggal 3-4 meter dari barisan di depan ku. Aku terus berfikir hembusan apa ini yang sesekali diam dan sesekali terasa. Dan tiba-tiba ransel yang kubawa menjadi lebih berat. Aneh... kenapa ini? Ransel yang ku bawa hanya berisi baju dan beberapa logistik. Dan sekarang menjadi berat, lebih berat dari awal aku membawanya.

               Tidak mungkin hanya karena gerimis, tas menjadi begitu berat. Bahu ku pun mulai terasa sakit. Kenapa ini? Langkahku pun ikut melambat. Namun jika aku berhenti, aku akan tertinggal jauh dari teman-temanku di depan. Aku terus berjalan sambil melantunkan ayat-ayat alquran, karena aku sadar ada yang tidak beres di belakangku.

                  Beberapa saat kemudian, hembusan itu sudah tidak terasa lagi. Dan ransel yang aku bawa juga kembali seperti semula. Belum sempat aku berfikir macam-macam kuarahkan lampu minyak yang aku bawa kearah belakang untuk mencari tahu apa yang membuatku serasa membawa beban berat....

        Sepasang cahaya kecil merah menyala di sela-sela pohon2. Tak jauh dari tempatku berdiri. Cahaya apa itu... itu... sebentar itu bukan cahaya... itu sepasang mata... jadi yang naik di tas ransel ku dan hembusan itu...

dia...

ku percepat langkahku setengah berlari sambil memanggil2 teman ku di depan yang mulai tak nampak lampu2 mereka...

“ndot!!... Bendhot!!”

aku mempercepat lagi langkahku, jalanan yang mulai licin membuatku hampir terpeleset. Tapi aku harus menyusul mereka...

“Ndooot...!!”
“eh... kenapa... kok lari kamu bro?”
“Hhh...hhh... cepet jalan... cepet...”
“kenapa???”
“udah cepet jalan aja... gak usah noleh kebelakang... cepat!!”

kami lebih mempercepat langkah. Dan kembali mengatur formasi barisan. Aku memilih untuk pindah kedepan. Bahaya jika aku tetap di belakang... bahaya...

Tak berapa lama kami tiba di romusha. Ku lirik jam menunjukkan 19.15. lebih cepat dari waktu yang di jadwalkan. Mungkin karena kami lebih mempercepat langkah setelah sesuatu hal yang menimpa ku. Aku masih duduk terdiam dengan keringat yang membasahi kaos yang aku kenakan. Teman-teman sibuk mendirikan tenda dan membuka perbekalan. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

“Setan Gunung...”
“Haaahhh!!... serius?? jadi yang naik di tas ransel ku itu??”

aku menceritakan apa yang aku alami ke mereka di dalam tenda. Wok Ji paling paham soal hal ini, dari cerita ke cerita dia sudah mengerti apa resikonya jika kita melalui pergantian waktu saat naik gunung dan masuk ke dalam hutan.

“Magrib... pergantian dari siang ke malam...saat gerbang diantara nyata dan ghaib terbuka. Itulah kenapa saat kecil kita sering di suruh masuk rumah oleh orang tua saat magrib tiba...”
“trus hubungannya dengna kejadian barusan?”
“Setahu aku saat gerbang terbuka, mereka akan selalu mencari kehidupan untuk mereka dekati atau sekedar menampakkan diri. Itulah kenapa mereka hadir di belakang kita... terlebih lagi ini adalah hutan... dan kita tidak tahu makhluk apa aja yang ada disini.”

udara dingin dan suara decitan pohon bambu dari bawah lembah membuat suasana semakin mencekam. Aku hanya terdiam sambil menatap lepas kearah lembah di bawah sana. Ini baru pertama kali aku alami saat pendakian. Begitu dekat... sangat dekat...

...

Udara pagi menusuk sangat tajam ke pori-pori kulit ku. Tenda dan sleeping bag yang aku pakai seperti tidak ada fungsinya. Udara dingin tetap menghunus. Aku lihat Bendot masih tertidur di bawa tumpukan tas. Sengaja dia tumpuk untuk melawan dingin. Sedangkan Wok Ji sudah ada di luar dengan kopi panas buatan Gayul

“Udah ngopi sini dulu bro...biar tenang”
“Siap bro...”

dengan mata yang masih menahan kantuk aku paksakan keluar tenda untuk meneguk segelas kopi guna mengusir udara dingin ini dari tubuhku. Rasanya begitu hangat dan membuat pikiran sedikit lebih tenang.

“Ji... pantangan apa aja sih yang sering kamu hindari pas lagi naik gini?”
“nggak ada pantangan bro, cuma kita harus bisa sama-sama menjaga.”
“maksudnya?”
“ya kita kan masuk ke wilayah yang liar. Ada banyak makhluk di tempat seperti ini. Ada tanaman, hewan dan apa yang kamu temuin semalam. Jadi kita tidak perlu mengusik mereka”
“iyaa... aku paham sih..”
“tapi jika mereka yang mengusik kita... kita tahu bagaimana harus bertahan...”

banyak hal yang belum aku mengerti tentang alam. Aku bukan Pecinta Alam sejati, aku hanya orang yang mencoba memahami bahasa alam dan semua yang ada di dalam nya... obrolan ini kami akhiri dengan sarapan mie instan yang lezat...

Hujan kembali turun, kali ini cukup deras. Kami hanya ngobrol di bawah tenda. Dan berharap hujan cepat reda, agar rencana kami naik ke puncak tetap terlaksana. Puncak terdekat berjarak sekitar 1.5 jam perjalanan. Menyusuri punggung gunung yang kiri dan kanannya adalah jurang menuju lembah. Waktu yang tepat untuk menuju puncak adalah siang hari... tapi hujan masih menghalangi kami untuk naik...

tepat pukul 14.00 hujan reda, matahari mulai naik menyapu bintik-bintik air yang tertinggal. Kabut yang menutup puncak mulai terarak menjauh.

“yuk coy kita naik... air dan bekal makanan di ransel kecil... bisa gue bawa... yang lain bawa air seperlunya aja”

Bendot memang paling semangat untuk urusan seperti ini. Dia selalu prepare apa saja yang di perlukan.

“aku yang paling depan barisan, ntar ikuti jejak ku aja. Rute masih licin karena hujan. Ndot belakang yo... biar air bisa di jangkau yang kelelahan”
“Siaaappp”

Wok ji udah berulang kali ke puncak wilis, dia lebih paham medan pendakian. Dia juga yang sering meracuni ku untuk ikut setiap pendakian yang mau dia adakan.

Kami mulai naik menuju puncak. Benar kata Wok ji, jalan cukup licin. Beberapa kali sendal yang aku pakai terpeleset. Kami harus mencari track yang bener2 kering untuk melangkah. Semakin atas pemandangan semakin bagus. Lembah di bawah sana semakin terlihat jelas. Ada 1 gubuk kecil di tengah lembah, dan gubuk itu di huni oleh seorang lelaki. Menghindari keramaian dunia. Pekerjaannya mencari rebung/ bambu muda. Untuk dijual di pos terakhir dibawah. Dan uangnya untuk membeli bahan makanan. Benar2 lelaki pemberani dan tangguh.

Sekitar 1 jam 20 menitan kami tiba di puncak. Sebidang tanah yang cukup luas dengan rumput2 ilalang. Ada beberapa pohon kecil yang tumbuh di tengah2nya. Tak heran jika banyak pendaki yang tidak ingin melewatkan puncak ini, pemandangannya luar biasa indah. Tapal kuda romusha semakin terlihat jelas. Kota kediri terlihat titik-titik indah dari kejauhan.

Lelap dalam bermain dan menikmati puncak, kami baru sadar waktu udah merangkak ke 16.30. Yang artinya kami harus segera turun, gelap akan segera tiba. Dan sialnya lagi...

“Ndot... gak ada yang bawa lampu??”
“anjrrit... lupa...”

Kami tak ada yang membawa lampu, dan pasti akan kemalaman untuk sampai kebawah. Aku mencoba untuk mencari alternatif lain sebagai penerangan.

“Ji... senter atau korek bawa gak?”
“gak bawa juga... yaudah langsung turun aja”

Aku berjalan lebih dulu di depan, diikuti oleh gayul dan pipit. Sedangkan di belakang ada Wokji, mbak Mitra dan Bendot yang berjalan perlahan sebagai penyapu jalan. Aku tak yakin bisa sampai tenda kami sebelum gelap. Meski ku percepat langkahku, aku harus tetap hati-hati. Kiri dan kanan jurang yang cukup jalan mengancam kami jika kami lengah.

Beberapa saat berjalan, dari kejauhan ku lihat seseorang membawa 2 buah lampu di tangan kiri dan kanannya. Mbah... dia datang juga... datang di waktu yang tepat...

“Mbah!!”
“nih bawa 1 lampu... cepat turun, hari sudah mulai gelap. Aku keatas untuk menyusul mereka”

bergegas ku percepat langkah. Kami pasti kemalaman di jalan, tapi yang aku pikirkan secepat mungkin aku aku ingin tiba di camp. Dan kami harus tetap bersama, jangan sampai terpisah.

“Yul, Pit... saling pegang pundak aja yo...”
“kenapa gitu?”
“biar kita gak kepisah jauh... firasat ku gak enak...”

baru beberapa saat aku berkata demikian, pipit merasakan hal yang tidak biasa...

“guys... cepetan dunk jalan... yuk cepat yuk...”
“kenapa pit? Gak bisa cepet jalannya licin nih”
“udah cepet aja... ayo cepetan...”

Lagi, aku melanggar aturan untuk tidak menoleh kebelakang apapun alasannya. Rasa penasaranku mengabaikan itu semua. Begitu ku arahkan lampu minyak di tangan kanan ku kearah belakang, aku lihat dengan jelas...

Sesosok pria berwajah pucat dengan tangan kanan berlumuran darah. Kaos lengan pendek nya lusuh dan banyak bercak-bercak darah. Wajahnya pucat dengan tatapan menunduk kebawah. Rambutnya pun kumal, pendek sebatas telinga. Berjalan perlahan 2-3 meter di belakang pipit. Siapa?? siapa orang itu?? yang jelas bukan salahsatu diantara kami... bukan...

Lagi... terjadi lagi...

Pipit semakin histeris, dia tidak tau apa yang ada di belakangnya. Dia hanya merasa gelisah dan ingin cepat sampai di camp. Aku berusaha untuk tetap tenang dan mempercepat langkah. Jika aku panik dan berteriak suasana akan semakin kacau. Sedangkan kiri dan kanan kami adalah jurang. Aku harus tetap tenang...

“kamu yakin??”
“aku yakin! Wajah pucat dan darah itu tanda, dia meninggal dengan cara yang tidak wajar... mungkin kita udah akrab dengan wilis, tapi apakah 'mereka' juga perlu akrab dengan kita???”

Kami hanya bisa saling terdiam di dalam tenda, 2 kejadian ganjil berturut2. Dan hanya aku yang melihat. Entah bagaimana harus meyakinkan mereka. Tapi aku yakin mereka masing-masing pasti merasakan ada yang tidak beres di pendakian kali ini...

“Kita turun besok pagi... malam ini segera matikan api dan kembali tidur. Besok pagi kita berkemas dan turun. Sebelum magrib kita udah sampai di stasiun. Dan masih bisa ngejar kereta terakhir besok malam”
“Oke deal...”

Aku tidak mau mengambil resiko terlalu jauh. Aku pernah punya pengalaman yang tidak enak dengan 'mereka' dan mungkin masih aku bawa hingga sekarang. Namun aku tidak mau hal itu juga menghantui teman-teman ku. Malam ini begitu lengang, kami terlelap di sleeping bag masing-masing. Dan masih di temani decitan suara pohon bambu yang tertiup angin lembah.

...

10.15 kami baru bisa berkemas dan bersiap untuk turun. Hujan tak berhenti sejak subuh tadi. Sangat mengkhawatirkan jika kami nekat untuk turun di bawah derasnya hujan. Kami lebih memilih menunggu hingga hujan reda.

12.45 kami udah keluar dari hutan, menuju proyek pembukaan lahan untuk jalan utama menuju wisata air terjun dholo. Hujan kembali deras, dan kami putuskan berteduh di sebuah gubuk pekerja. Ada seorang pencari rebung yang juga berteduh sembari menikmati rokok kretek di setiap hisapannya.

“nyuwun sewu nggih pak...”
“iya mas... monggo...”
“pulang cari rebung ya pak?”
“Iya mas... rombongan dari mana mas?”
“Blitar pak... baru nge-camp di romusha”

Orang tua itu hanya tersenyum dan melanjutkan hisapan kreteknya. Asap rokok dalam keadaan seperti ini bisa menjadi penghangat dan pelepas lelah. Begitu hujan reda, orang tua itu memanggul tas karung rebung nya dan menyalakan rokok sembari berkata kearahku...

“besok lagi kalau ke romusha jangan jauh2 dari tenda waktu malam hari mas...atau malah jangan tinggalkan tenda. Karena setelah mas masuk lagi, mungkin sudah ada yang masuk duluan dan duduk di pojokan... monggo mas...”

Sontak bulu kuduk ku merinding. Teman-temanku yang lain pun diam saling bertatapan. Sepertinya orang itu tau apa yang aku alami. Atau lebih tepatnya apa yang sering pendaki-pendaki lain alami... Wilis lebih dari sekedar gunung...

Lepas Isya kami sudah ada di kereta. Kereta terakhir menuju Blitar. Suasana gerbong sepi. Hanya beberapa ruas kursi saja yang ditempati. Beberapa dari kami juga lebih memilih untuk tidur. Wok ji di sebelahku juga diam saja sejak awal naik kereta. Perjalanan yang melelahkan. Hanya aku yang masih terjaga. Pikiranku masih tidak karuan. Antara lega dan takut. Setiap tempat pasti memiliki rahasia masing-masing.

Aku tidak bermaksud mengusik mereka, tapi mereka berhak menunjukkan keberadaannya saat daerah yang mereka tempati di masuki makhluk lain. Entah lah... akal sehatku belum bisa menerima ini semua.

“naah ini disini semua... tak cariin... aku naik dari depan tadi, ketemu teman SMP...”

Wok Ji didepan?? bentar-bentar... kalau begitu yang dari tadi di sebelah ku??




Micky R Saputra

Hanya karena sebuah Yamaha RX-king 1986, ku di panggil Baron... Bang Baron... Tenang, saya bukan perampok kelas kakap ataupun Jambret yang nggak naik kelas. Bukan juga kepala genk Mafia penjual obat-obat penurun panas terlarang. Saya cuma peserta Audisi Indonesia Idol yang nggak pernah lulus yang iseng ngabisin kuota Internet untuk nulis Blog... iya bener blog... bukan bon kreditan panci...

No comments:

Post a Comment